syarat dan waktu aqiqah, pembahasan lengkap mengenai kriteria aqiqah baik laki-laki ataupun perempuan. Syarat dan peraturan tersebut diantaranya yaitu, masa-masa aqiqah, hewan. aqiqah (umur, jenis kelamin jantan atau betina pun kondisi fisik) dan kapan waktu aqiqah yang terlengkap
Bagaimana Syarat Aqiqah Anak Laki-Laki dan Perempuan?
Syarat-syarat aqiqah untuk anak laki-laki dan anak perempuan harus cocok dengan peraturan syariat menurut peraturan islam. Hal itu mempunyai tujuan agar ibadah aqiqah anda diterima oleh Allah. Terlebih lagi, aqiqah ialah salah satu ibadah yang pelaksanaannya sekali seumur hidup.
Syarat Aqiqah Anak Laki-Laki dan Perempuan dalam Hadist
Syarat aqiqah anak laki-laki dan perempuan dalam hadist sahih yang berkata mengenai masa-masa pelaksanaan aqiqah untuk anak atau bayi yang baru lahir ialah sebagai berikut:
Dari Samurah bin Jundub dia berkata: Rasulullah SAW. bersabda:
“Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan. (kambing), diberi nama dan dipotong rambutnya.”
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata, “Rasulullah SAW pernah ber aqiqah guna Hasan dan Husain pada hari ke-7 dari kelahirannya, beliau memberi nama dan menyuruh supaya dihilangkan dari kotoran dari kepalanya (dicukur).
Dari ‘Aisyah RA, ia berkata: Rasulullah bersabda: “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua domba yang sama dan bayi wanita satu kambing“.
[HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah]
Penyembelihan hewan sehubungan dengan kelahiran anak atau aqiqah cocok dengan hadist itu disyariatkan untuk dilaksanakan pada hari ketujuh kelahiran anak.
Hukum aqiqah guna orang tua yang baru melahirkan anaknya ialah sunnah muakad, walaupun demikian, kriteria dan peraturan aqiqah menjadi bagian penting dalam syariat Islam.
bagaimana Syarat Ketentuan Pemotongan Rambut Bayi dan Pemberian Nama?
Sesuai sunnah, memotong rambut bayi dilaksanakan di hari ketujuh atau semingggu sesudah kelahiran bayi. Berdasarkan hadis dari Salman bin Amir Ad-Dhabbi radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ
“Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, disembelih di hari ketujuh, diberi nama, dan dipotong kepalanya.“
[HR. Nasa’i 4149, Abu Daud 2837, Tirmidzi 1522, dan dishahihkan Al-Albani]
Mayoritas ulama, yakni malikiyah, Syafiiyah, dan Hambali, berasumsi bahwa disarankan mencukur kepala bayi pada hari ketujuh, dan bersedekah seberat rambut berupa emas atau perak menurut keterangan dari Malikiyah dan Syafiiyah, dan berupa perak saja menurut keterangan dari hambali. Jika tidak dipotong maka beratnya dikira-kira beratnya, dan sedekah dengan perak seberat itu. Mencukur rambut dilaksanakan setelah menyembelih aqiqah.
Jumlah dan Jenis Kelamin (Jantan atau Betina)
Sudah jelas bahwa guna jumlah hewan. yang dipakai untuk aqiqah ialah dua ekor domba untuk anak laki-laki, sementara untuk anak perempuan ialah satu ekor kambing.
Meskipun anak laki-laki dan anak wanita sama-sama mahkluk ciptaan Allah, namun, terdapat perbedaan tentang jumlah hewan. yang dipakai untuk aqiqah.
Hal itu senada dengan hukum waris, dimana anak laki-laki berhak mewarisi harta orang tuanya dua bagian, sementara anak wanita satu bagian.
Mengenai jenis kelamin hewan. (jantan atau betina), bahwa tidak disyariatkan dalam domba aqiqah me sti jantan atau betina. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عن الغلام شاتان وعن الجارية شاة لايضركم أذكرانا كن أم إناثا
“Untuk anak laki-laki dua kambing, dan guna anak wanita satu kambing, dan tidak memudharati kalian apakah kambing-kambing itu jantan atau betina.”
[HR. Ashhabus Sunan, dan dishahihkan Syeikh Al-Albany
Pendapat mengenai waktu aqiqah.
pengamalan aqiqah tepat sesudah bayi didilahirkan dan tidak me sti menantikan sampai hari ke-7. itu menurut Sya fiiyah dan Hanabilah. Tapi mereka tidak membolehkan sebelum bayi dilahirkan. Maka, andai penyembelihan dilaksanakan sebelum kelahiran bayi, dirasakan sebagai sembelihan biasa dan bukan aqiqah. Hal ini didasari atas suatu karena yaitu kelahiran. Maka andai bayi telah terlahir aqiqah boleh dilaksanakan.
Sedangkan pendapat yang terakhir baru membolehkan pengamalan aqiqah pada hari ke-7 pasca kelahiran. itu menurut Hanafiyah dan Malikiyah. Dan aqiqah tidak sah (dianggap sembelihan biasa) bila dilakukan sebelumnya.
Kapan waktu aqiqah ditentukan dan apakah ada batasanya?
1. waktu aqiqah Hari ke-7
Kalangan Malikiyah berasumsi bahwa masa-masa aqiqah melulu sampai hari ke-7 pasca kelahiran. Jika hari ke-7 sudah selesai maka ibadah aqiqah telah tidak lagi berlaku.
2. Aqiqah Sampai anak umur baligh
Sedangkan Syafi’iyah, mereka membolehkan untuk orang tua melasanakan aqiqah anaknya sampai dia masuk umur baligh. Ini yang mustahabb. Maka saat telah masuk umur baligh, orang tua bukan lagi terbebani ibadah ini. Akan namun anak itulah yang akan mengemban aqiqahnya sendiri andai mampu. Demikian yang diriwayatkan dalam suatu hadits, bahwa Rasulallah meng-aqiqahi dirinya sendiri saat beliau telah menjadi nabi.
Al-Imam an-Nawawi di dalam kitabnya Syarhu al-Muhadzab, mengatakan andai hadits mengenai aqiqahnya Nabi guna dirinya sendiri tersebut adalah hadits bathil.
Batasan waktu aqiqah menurut ulama madzhab?
Para ulama bertolak belakang pandangan tentang batas akhir waktu guna aqiqah. Sebagai muslim, tentu susah untuk dapat memahami batasan peraturan waktu guna aqiqah.
Maka dari tersebut mari anda simak pandangan-pandangan semua ulama jumhur di bawah ini:
- Syafi’iyah dan Hambali
Beberapa pandangan ulama madzhab Syafi’iyah dan Hambali mengenai waktu aqiqah yaitu dibuka dari kelahiran sang bayi. Mereka berasumsi bahwa hukumnya tersebut tidak sah bilamana aqiqah dilakukan sebelum bayi lahir. Memotong kambing sebelum bayi bermunculan maka dirasakan sebagai sembelihan biasa.
Ulama dari kalangan Syafi’iyah berasumsi bahwa masa-masa aqiqah dapat diperpanjang. Meski begitu, kerjakan aqiqah sebelum anak baligh (dewasa). Karena bila baligh belum pun diaqiqahi, maka aqiqahnya telah gugur.
Orang yang baligh boleh mengaqiqahi diri sendiri. Karena Ulama Syafi’iyah berpandangan bahwa aqiqah tersebut kewajiban sang ayah.
Sementara semua ulama kalangan Hambali berpandangan bahwa andai aqiqah tidak bisa hari ke-7, maka disunnahkan dan boleh hari ke-14, hari ke-21 dan seterusnya.
2. Hanafiyah dan Malikiyah
Sementara tersebut para ulama madzhab Hanafiyah dan Malikiyah berpandangan bahwa masa-masa aqiqah sangat sunnah ialah pada hari ketujuh dan jangan sebelumnya.
Ulama Malikiyah pun memberi batas bahwa masa-masa aqiqah sesudah hari ke-7 dirasakan sudah gugur.
3. Ulama Indonesia
Mayoritas Ulama di Indonesia bermadzab Imam Syafi’i, baik Muhammadiyah maupun NU (Nahdhatul Ulama). Karenanya, tidak sedikit tidak heran bila masyarakat anda merayakan syukuran aqiqah sesudah sesudah dewasa. Alasannya sebab waktu kecil belum aqiqah.
kapan waktu aqiqah untuk Anak, agar bisa mengaqiqahi dirinya sendiri?
Ulama yang membolehkan untuk anak guna meng-aqiqahi dirinya sendiri andai mampu dengan keumuman hadits,
كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ، تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ، وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ، وَيُسَمَّى
Artinya: “Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, maka disembelihkan kambing untuknya pada hari ke-7, dipotong rambutnya, dan diberi nama”
(HR.Ibn Majah)
Kata tergadai (مُرْتَهَنٌ) berarti me sti dilakukan dan dibayar kapan juga dan oleh siapapun. Jika masih hari ke-7 atau sebelum baligh, maka menjadi tanggungan orang tua. Namun andai sudah lewat, maka boleh dilakukan oleh siapapun temasuk oleh anak tersebut sendiri, andai dia mampu. Kata ‘boleh’ dalam urusan ini bukan berati sunnah.
kapan Waktu aqiqah yang baik untuk dilaksanakan?
Sebagaimana pendapat di atas, Sementara tersebut menyimak ulasan dari Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal dari Rumaysho menyerahkan rekomendasi bahwa usahakan aqiqah dilakukan tepat hari ke-7.
Beliau beralasan, “lebih baik berpegang dengan masa-masa aqiqah yang disepakati oleh semua ulama yakni hari ke tujuh”.
Adapun mengenai waktu aqiqahan di hari ke-14, 21 dan seterusnya semacam ini har us terdapat dalilnya.
Aqiqah disunnahkan dilakukan pada hari ketujuh. Hal ini menurut hadits,
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى »
Dari Samuroh bin Jundub, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, digundul rambutnya dan diberi nama.”
(HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani menuliskan bahwa hadits ini shahih)
Apa hikmah aqiqah dilakukan pada hari ketujuh?
Murid Asy Syaukani, Shidiq Hasan Khon rahimahullah menerangkan, “Sudah semestinya terdapat selang masa-masa antara kelahiran dan masa-masa aqiqah. Pada mula kelahiran pasti saja family disibukkan guna merawat si ibu dan bayi. Sehingga saat itu, janganlah mereka diberi beban lagi dengan kegiatan yang lain. Dan pasti ketika tersebut mencari domba juga perlu usaha. Seandainya aqiqah disyariatkan di hari kesatu kelahiran sungguh ini paling menyulitkan. Hari ketujuhlah hari yang lumayan lapang guna pelaksanaan aqiqah.”
dimulai dari kapan penghitungan waktu aqiqah?
Disebutkan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah,
وذهب جمهور الفقهاء إلى أنّ يوم الولادة يحسب من السّبعة ، ولا تحسب اللّيلة إن ولد ليلاً ، بل يحسب اليوم الّذي يليها
“Mayoritas ulama pakar fiqih berpandangan bahwa masa-masa siang[2] pada hari kelahiran ialah awal hitungan tujuh hari. Sedangkan masa-masa malam[3] tidaklah jadi hitungan andai bayi tersebut didilahirkan malam, tetapi yang jadi hitungan hari berikutnya.”[4] Barangkali yang dijadikan dalil ialah hadits inilah ini,
تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ
“Disembelih baginya pada hari ketujuh.” Hari yang dimaksudkan ialah siang hari.
Misalnya terdapat bayi yang bermunculan pada hari Senin (21/06), pukul enam pagi, maka hitungan hari ketujuh telah mulai dihitung pada hari Senin. Sehingga aqiqah bayi tersebut dilakukan pada hari Ahad (27/06).
Jika bayi itu lahir pada hari Senin (21/06), pukul enam sore, maka hitungan tadinya tidak dibuka dari hari Senin, tetapi dari hari Selasa keesokan harinya. Sehingga aqiqah bayi itu pada hari Senin (28/06). Semoga dapat memahami misal yang diserahkan ini.
Cara menghitung waktu aqiqah atau hari aqiqah anak.
Anda dapat menghitung masa-masa aqiqah semenjak bayi dilahirkan. Gunakanlah perhitungan kalender hijriah.
Contohnya andai ada bayi bermunculan pada hari Rabu pukul enam pagi (06.00 WIB), maka hitungan hari ketujuh sudah semenjak hari Rabu tersebut. Maka pengamalan aqiqah bayi itu yaitu hari Selasa.
Contoh lainnya andai bayi bermunculan hari Rabu pukul enam senja (18.00 WIB), maka hitungannya bukan Rabu, namun masuk hari Kamis keesokan harinya. Pelaksanaan aqiqah bayi tersebut ialah pada hari Rabu.
تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ
“Disembelih baginya pada hari ketujuh.” Hari yang dimaksudkan ialah siang hari.
Adanya jangka masa-masa aqiqah dari sesudah kelahiran bahwasannya berisi hikmah. Pada ketika bayi baru lahir, keluarga tentu disibukkan dengan pengurusan bayi pun ibunya. Maka dari tersebut perlu ada masa-masa persiapan sebelum syukuran aqiqah dan ini menjadi keutamaan dan ibrah masa-masa aqiqah.
Bagaimana andai waktu aqiqah tidak dapat dilaksanakan pada hari ketujuh?
Dalam masalah ini ada silang pendapat salah satu para ulama. Berdasarkan keterangan dari ulama Syafi’iyah dan Hambali, masa-masa aqiqah dibuka dari kelahiran. Tidak sah aqiqah sebelumnya dan cuma dirasakan sembelihan biasa.
Berdasarkan keterangan dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah, masa-masa aqiqah ialah pada hari ketujuh dan jangan sebelumnya.
Ulama Malikiyah pun memberi batas bahwa aqiqah telah gugur sesudah hari ketujuh. Sedangkan ulama Syafi’iyah membolehkan aqiqah sebelum umur baligh, dan ini menjadi keharusan sang ayah.
Sedangkan ulama Hambali berasumsi bahwa andai aqiqah tidak dilakukan pada hari ketujuh, maka disunnahkan dilakukan pada hari keempatbelas. Jika tidak sempat lagi pada hari tersebut, boleh dilakukan pada hari keduapuluh satu. Sebagaimana urusan ini diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Adapun ulama Syafi’iyah berasumsi bahwa aqiqah tidaklah dirasakan luput andai diakhirkan waktunya. Akan tetapi, disarankan aqiqah tidaklah diakhirkan sampai usia baligh. Jika sudah baligh belum pun diaqiqahi, maka aqiqahnya tersebut gugur dan si anak boleh memilih guna mengaqiqahi dirinya sendiri.
bagaimana kesimpulanya?
Dari perbedaan pendapat di atas, pengarang sarankan supaya aqiqah dilakukan pada hari ketujuh, tidak sebelum atau sesudahnya. Lebih baik berpegang dengan masa-masa yang disepakati oleh semua ulama.
Adapun menyatakan dipindahkan pada hari ke-14, 21 dan seterusnya, maka penentuan tanggal semacam ini me sti perlu dalil.
Sedangkan mengaku bahwa aqiqah boleh dilaksanakan oleh anak tersebut sendiri saat ia telah dewasa sedang ia belum diaqiqahi, maka andai ini berdalil dengan tindakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disebutkan mengaqiqahi dirinya saat dewasa, tidaklah tepat. Alasannya, sebab riwayat yang melafalkan semacam ini lemah dari masing-masing jalan. Imam Asy Syafi’i sendiri mengaku bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengaqiqahi dirinya sendiri (ketika dewasa) sebagaimana dilafalkan dalam salah satu buku fiqih Syafi’iyah Kifayatul Akhyar. Wallahu a’lam.
baca juga:
Pingback: Aqiqah lebih dari 21 hari bagaimana?, tanya ustad yuk - Ridho Aqiqah JogjaRidho Aqiqah Jogja
Pingback: pengertian aqiqah dan hikmahnya - Ridho Aqiqah JogjaRidho Aqiqah Jogja