Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: Para ulama menyatakan, jika tidak memungkinkan pada hari ketujuh, maka pada hari keempat belas. Jika tidak mungkin juga, maka pada hari kedua puluh satu. Dan bila tidak mungkin juga, maka kapan saja. inilah aqiqah. [4]
Sedangkan yang berkaitan dengan ketentuan jumlah kambingnya, untuk bayi laki-laki dua kambing dan bayi wanita satu kambing. Ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُمْ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka aqiqah untuk anak laki-laki dua kambing, dan anak perempuan satu kambing”. [HR At Tirmidzi dan Ibnu Majah].
Ketentuan kambingnya disini tidak dijelaskan jenisnya, harus jantan atau boleh juga betina. Namun para ulama menyatakan, bahwa kambing aqiqah sama dengan kambing kurban dalam usia, jenis dan bebas dari aib dan cacat. Akan tetapi mereka tidak merinci tentang disyaratkan jantan atau betina. Oleh karena itu, kata syah (شَاةٌ ) dalam hadits di atas, menurut bahasa Arab dan istilah syari’at mencakup kambing atau domba, baik jantan maupun betina. Tidak ada satu hadits atau atsar yang mensyaratkan jantan dalam hewan kurban. Pengertian syah (شَاةٌ) dikembalikan kepada pengertian syariat dan bahasa Arab.[5]
Dengan demikian, maka sah bila seseorang menyembelih kambing betina dalam kurban dan aqiqah, walaupun yang utama dan dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah kambing jantan yang bertanduk. Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Perkataan Imam Ahmad ini kami nukil dari Al Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih Fauzan (3/194).
[2]. Al Muntaqa Min Fatawa Syaikh Al Fauzan (3/194).
[3]. Al Wajiz Fi Fiqhi As Sunnah Wal Kitab Al Aziz, Abdul ‘Azhim Badawi, hlm. 405.
[4]. Al Muntaqa Min Fatawa (3/193).
[5]. Tentang hal ini, lihat keterangan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarah Nadzmu Waraqat, hlm. 89-90.
Sumber bacaan :